Pada masa sekarang ini Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan satu diantara penyakit kronis yang paling mengancam kelangsungan hidup manusia. Semula ditemukan di Afrika, lalu menyebar ke Karibia dan kemudian ke Amerika Serikat. Dalam waktu singkat penyakit ini telah merambah ke negara-negara Eropa dan Asia Tenggara. Data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2002 menyebutkan bahwa, kira-kira 12 juta orang di seluruh dunia tertular Human Immune Deficiancy Virus (HIV). Jumlah ini diperkirakan bertambah menjadi 100 juta menjelang akhir abad 21. World Health Organization (WHO) juga menambahkan bahwa 40% pengidap HIV itu tinggal di negara-negara yang sedang berkembang dan meramalkan timbulnya wabah-wabah besar di Bangladesh, Pakistan, India, Indonesia dan Filipina.
Fenomena HIV/AIDS menjadi salah satu permasalahan sosial yang membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Namun, sedikit warga masyarakat di Indonesia menyadari bahwa virus mematikan itu merupakan ancaman. Meningkatnya jumlah pengidap HIV/AIDS menjadi indikasi virus itu sebenarnya belum dianggap sebuah ancaman oleh sebagian besar warga. Alhasil penanganannya pun belum sepenuhnya maksimal. Padahal, menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia cukup besar yaitu mencapai 10.859 jiwa, bahkan estimasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia kasus HIV/AIDS diperkirakan berjumlah 90.000-120.000 jiwa. (Tempo Interaktif : Rabu, 19 April 2006).
Hingga Juni 2006 menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah mencapai 10.859 kasus dengan rincian 4.527 kasus HIV dan 6.332 kasus AIDS. Perkiraan penderita AIDS di Indonesia di tahun 2010 adalah 100.000 dengan pengidap HIV sebanyak 1.000.000 orang kecuali apabila dilakukan tindakan pencegahan secara serius. Hal ini kemudian diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Cendrawasih pada tahun 2005 menyebutkan bahwa lebih dari 30 orang di Indonesia terjangkit HIV tiap bulannya, terutama melalui jarum suntik yang berpindah-pindah.
Kecenderungan menunjukkan bahwa Indonesia dalam waktu dekat akan beresiko mengalami epidemi yang lebih besar. Peningkatan kasus penularan HIV di kalangan kelompok beresiko di beberapa daerah di Indonesia menjadi salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit menular ini melalui pendidikan dan advokasi masyarakat menjadi hal yang utama. Tujuannya untuk mencegah penyebaran epidemi ini lebih luas lagi. Kalau tidak, maka stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan akan tetap menjadi kendala bagi upaya penanggulangan lebih jauh.
Hasil survey Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2006 menyebutkan bahwa di kota Bandung jumlah pengidap virus HIV telah meningkat dari tahun 2005 yaitu dari 550 penderita meningkat menjadi 799 penderita hingga akhir Juni 2006. Virus ini memang tidak mengenal batas usia maupun jenis kelamin. Siapa saja bisa menjadi mangsanya mulai dari orang tua maupun remaja, bahkan anak-anak telah terjangkiti termasuk ibu-ibu yang sedang hamil. Persoalan HIV/AIDS hendaknya dipandang bukan semata persoalan individu dan perilaku seseorang, tetapi sudah menjadi milik bersama.
Kota Bandung tercatat memiliki penderita HIV/AIDS terbanyak di Jawa Barat. Dari data Dinas Kesehatan Jawa Barat, sampai Maret 2006 sedikitnya ada 799 penderita HIV/AIDS di Bandung. Angka itu jauh lebih besar dibanding di Kota Bekasi yang berjumlah 187 orang dan Kota Cirebon sebanyak 127 orang. (Tempo Interaktif : Rabu, 19 April 2006).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sebagian besar penderita HIV/AIDS adalah remaja yang berusia antara 20-29 tahun, termasuk di dalamnya adalah penguna jarum suntik (IDU) seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini :
Tabel 1.1
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS di Indonesia
Menurut Golongan Umur Desember 2005
Gol Umur
(tahun)
Jumlah Penderita (jiwa)
AIDS
AIDS/IDU
60
33
6
Tak Diketahui
210
68
Sumber : Depkes RI
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali memperoleh stigma buruk dan diskriminasi baik dari keluarga, teman maupun masyarakat. Hal ini tentu saja hanya akan memperburuk kondisi para ODHA itu sendiri karena pada dasarnya ODHA memerlukan dukungan moral baik dari keluarga, teman, lingkungan maupun masyarakat.
Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterasingan ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat.
Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan, dan ini didukung oleh, ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Terjadi di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, juga tempat layanan hukum dan kesehatan. Orang bisa melakukan diskriminasi baik dalam kapasitas pribadi maupun profesional, sementara lembaga bisa melakukan diskriminasi melalui kebijakan dan kegiatan mereka.
Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai suatu masalah, bukan sebagai bagaian dari solusi untuk mengatasi epidemi ini
Upaya pencegahan dan mengatasi masalah HIV/AIDS harus dilakukan secara terus menerus dan harus bergerak dengan bentuk program untuk menyelamatkan sesama manusia. Hal tersebut tentunya akan lebih efektif apabila didukung oleh seluruh elemen dalam masyarakat baik individu, keluarga, remaja, lembaga/organisasi maupun masyarakat.
ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang seharusnya mendorong penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua, hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.
Pada kenyataannya sikap masyarakat yang memberikan stigma buruk dan diskriminasi terhadap para ODHA hanya menambah tingkat permasalahan HIV/AIDS. ODHA seharusnya memperoleh dukungan dari semua pihak khususnya dukungan emosional sehingga permasalahan yang dialami oleh ODHA tidak meluas.
Mahasiswa sebagai remaja harapan bangsa juga sebagai unsur penting dalam masyarakat tentunya mempunyai peran dan tanggung jawab dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/AIDS. Sebagai kaum terpelajar, mahasiswa dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai macam masalah sosial yang terjadi dan berkembang dilingkungannya termasuk didalamnya adalah masalah HIV/AIDS.
Ironisnya sebagian besar remaja Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi tepat tentang penyakit ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro pada tahun 2005 di Semarang menyebutkan bahwa diantara seribu murid SMA menunjukan pengetahuan tentang AIDS dan PMS pada umumnya rendah, terutama tentang cara penularan AIDS. Siswa laki-laki cenderung lebih tahu mengenai cara penularan HIV daripada siswa perempuan. Sikap siswa terhadap masalah seks dan AIDS juga rata-rata negatif. Siswa laki-laki cenderung memiliki sikap yang positif terhadap masalah seks akan tetapi memiliki sikap negatif terhadap penderita AIDS sedangkan siswa perempuan cenderung lebih menerima kehadiran penderita AIDS.
Menurut H. Abu Ahmadi (1999:164) “sikap adalah kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi secara konsisten”. Dengan demikian orang yang memiliki sikap negatif terhadap ODHA cenderung akan menolak kehadiran ODHA, sebaliknya orang yang memiliki sikap positif terhadap ODHA cenderung akan lebih menerima kahadiran ODHA.
Read More..
Senin, 23 November 2009
ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS )
Diposting oleh ayuwidya090907JaNGan Jauhi Mereka ( ODHA )
Diposting oleh ayuwidya090907
coba dhe bayangin,,gmna rasanya kalo disisihin dari masyarakat?? mmm,, tentunya gag enak bgt kan??!! apalagi tiap apa yang kita lakuin pasti selalu dipandang salah... nahh,, perasaan tersisih itulah kerap kali yang dirasakan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS),seakan-akan stigma negatif dan diskrimnasi ODHA sudah menjadi teman mereka.
Saat ini masih sering ditemui pemberian stigma dan diskriminasi yang berlebihan kepada ODHA. Stigma yang menyebutkan HIV/AIDS sebagai akibat penyimpangan perilaku seks dari nilai, norma, dan agama, penyakit pergaulan bebas, atau penyakit kaum perempuan nakal. Yang lebih menyeramkan masih adanya stigma HIV/AIDS merupakan kutukan Tuhan karena perbuatannya yang menyimpang itu.
Padahal, tak semua penderita HIV/AIDS begitu banyak. Banyak kasus ditemukan penderita HIV/AIDS dari keluarga baik-baik. Bukan karena berhubungan seks dengan banyak pasangan. Bukan juga karena akrab dengan jarum suntik narkoba. Mereka tertular bisa karena transfusi darah. Atau melakukan hubungan seks dengan pasangan yang ternyata tak setia, yang suka jajan. Bisa juga karena korban perkosaan yang ternyata pelakunya mengidap HIV/AIDS. Bayi yang tak berdosa pun bisa tertular virus ini.
Toh meski kenyataannya seperti itu, stigma negatif tetap berlaku buat mereka. Tak peduli alasannya. Menjadi dikucilkan dan kerap tidak mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Padahal, sikap semacam ini justru menjadi penghalang utama bagi upaya pencegahan. Infeksi, pelayanan yang memadai, dukungan, dan perawatan, dan pengurangan dampak buruk infeksi HIV ( Human Immunodeficiency Virus ).
Adanya stigma ini membuat penderita atau keluarga menjadi takut, memeriksa diri ke rumah sakit atau pusat-pusat pelayanan kesehatan. Imbasnya, mereka yang berpotensi tertular virus ini pun menjadi enggan memeriksakan diri. Secara psikologis stigma dan diskriminasi sangat berpergaruh pada penderita. Terutama dalam hal bagaimana mereka melihat dan menilai dirinya sendiri.
Depresi
Jika penderita sudah merasa begitu buruk akan berdampak pada perkembangan jiwanya. Mereka lalu menjadi depresi, kurang percaya diri, dan putus asa. Kalau sudah begini, upaya mengantisipasi perkembangan HIV/AIDS mengalami kendala yang cukup berat dan tentunya menghambat upaya-upaya pencegahan dan perawatan. Sebagaimana nantinya kondisi suatu bangsa jika penghuni-penghuninya dalam keadaan sekarat.
Maka tak salah jika stigma itu sangat berbahaya. Mengapa..., karena bisa menimbulkan rasa malu, rasa bersalah, dan pengucilan terhadap penderita. Adanya stigma-stigma itu memunculkan sikap-sikap diskriminasi. Akibatnya ODHA menjadi tidak terpenuhi hak-haknya. Banyak yang tak mau bergaul dengan mereka. Enggan berdekatan. Tak mau berjabat tangan. Ogah memeluk mereka. Semua dengan alasan takut tertular. Tindakan ini jelas merupakan bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapuskan dan dihempaskan dari muka bumi ini.
Memang stigma erat kaitannya dengan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS. Banyak yang tak mengetahui soal virus dan kumpulan virus yang membuat daya tahan tubuh seseorang menurun drastis. Mereka tak mengetahui sebab dan penularan segala bentuk stigma dan diskriminasi, penyebaran sosialisasi mengencil HIV/AIDS harus gencar dilakukan.
Caranya harus benar dan sistematis. Harus dikembangkan pengetahuan yang tepat tentang epidemis, sifatnya, dan juga penyebabnya. Tak ada salahnya, kita memberi semangat kepada ODHA dalam menghadapi perasaan cemas dan tak aman.
Kita juga sebisa mungkin harus melibatkan berbagai pihak terutama keluarga, teman, dan pasangan mereka. Tokoh agama dan tokoh masyarakat pun harus telibat didalamnya. Dengan begitu ODHA tak lagi merasa tersisihkan dan tercampakkan. Mudah-mudahan dengan cara seperti ini penangulangan masalah HIV/AIDS bisa berjalan sesuai harapan.
Read More..